Selasa, 18 Desember 2012

STOP KENDARAAN PRIBADI !!!


Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan di Asia Tenggara yang terdiri dari ribuan pulau dan ratusan suku bangsa. Indonesia memiliki luas daratan 1.904.569 Km2 dan menurut Bank Dunia jumlah populasi Indonesia saat ini, tahun 2012 adalah 242.325.638 jiwa. Dengan jumlah penduduk yang sekian, menjadikan Indonesia sebagai Negara Keempat di dunia dengan penduduk terbanyak setelah China, India, dan Amerika Serikat. Hal ini tentunya membawa berbagai dampak bagi kehidupan masyarakat, salah satunya adalah permasalahan dalam hal mobilisasi yaitu tersedianya sarana transportasi yang memadai.
Sektor transportasi dikenal sebagai salah satu mata rantai jaringan distribusi barang dan penumpang telah berkembang sangat dinamis serta berperan didalam menunjang pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan. Pertumbuhan sektor ini akan mencerminkan pertumbuhan ekonomi secara langsung sehingga transportasi mempunyai peranan yang penting dan strategis. Keberhasilan sektor transportasi dapat dilihat dari kemampuannya dalam menunjang serta mendorong peningkatan ekonomi nasional, regional dan lokal, stabilitas politik termasuk mewujudkan nilai-nilai sosial dan budaya yang diindikasikan melalui berbagai indikator transportasi antara lain: kapasitas, kualitas pelayanan, aksesibilitas keterjangkauan, beban publik dan utilisasi. Karena wilayah Republik Indonesia sebagian besar berada di daratan, maka kebutuhan sarana transportasi darat sangat mengalami peningkatan yang signifikan. Hal tersebut dapat dilihat secara nyata, pada jumlah kebutuhan akan jumlah kendaraan di darat jauh lebih banyak daripada kebutuhan untuk jumlah kendaraan yang ada di laut maupun di udara.
Berbicara mengenai transportasi, maka kita tidak bisa terlepas pada kajian land use planning system atau Sistem Perencanaan Penggunaan Lahan dan terkhusus pada pembahasan ini, penulis memfokuskan pada ruang perkotaan karena sistem transportasi di wilayah perkotaan sangat perlu diperhatikan perencanaan dan managemennya agar kota-kota di Indonesia tidak lagi selalu mengalami satu permasalahan umum dari sistem transportasi yakni kemacetan.
Ruang kota diperlukan untuk melayani berbagai macam kebutuhan manusia; perumahan (wisma), lapangan kerja (karya), interaksi sosial dan sarana rekreasi (suka), dan angkutan penumpang dan barang (marga). Oleh karena itu, perencanaan ruang perkotaan harus terintegrasi dengan perencanaan sarana dan prasarananya, khususnya prasarana transportasinya karena rencana kota tanpa mempertimbangkan keadaan dan pola transportasi yang akan terjadi sebagai akibat dari rencana itu sendiri, akan menghasilkan kesemrawutan lalu lintas di kemudian hari. Akibat lebih lanjut adalah meningkatnya jumlah kecelakaan, pelanggaran, dan menurunnya sopan-santun berlalu-lintas, serta meningkatnya pencemaran udara.
Peran transportasi kian menjadi bagian terpenting dalam kehidupan kota. Pertumbuhan ekonomi dan perubahan gaya hidup modern telah menyebabkan perjalanan penduduk lebih meningkat. Masalah transportasi perkotaan selain dipengaruhi oleh faktor tersebut, juga akibat dari keterkaitan beberapa aspek, antara lain (1) perkembangan ruang perkotaan secara tidak terstruktur (urban sprawl), (2) perkembangan ekonomi masyarakat perkotaan yang membutuhkan rumah, investor membutuhkan lahan industri dan pergudangan, serta prasarana lainnya, (3) sistem jaringan jalan dan pola angkutan umum yang terbatas dan belum terintegrasi dengan sistem rencana ruang/guna lahan (Wunas, 2011).
Dengan tidak terstrukturnya pola pembangunan di wilayah perkotaan, maka akan berpengaruh pada peningkatan kepadatan penduduk secara tiba-tiba dan menimbulkan tarikan atau bangkitan lalu lintas. Akibat dari perkembangan kota yang secara sporadis ini, maka penduduk sangat tergantung pada kendaraan pribadi, baik berupa mobil maupun motor sehingga berdampak pada peningkatan volume dan kepadatan lalu lintas serta kemacetan lalu lintas.
Kemacetan lalu lintas menimbulkan masalah lingkungan hidup, seperti emisi kendaraan mengeluarkan karbon monoksida (CO), nitrooksida (NOx), hidrokarbon (HC). Emisi kendaraan bermotor 76% dari jaringan jalan (Wunas,2011). Studi 1989 Bank Dunia menjelaskan bahwa penduduk pada daerah padat kendaraan beresiko 12,8 kali lebih besar gangguan kesehatan daripada daerah yang jarang kendaraan.
CO adalah gas beracun yang bisa merusak kesehatan pengguna jalan. Selain itu, di udara sebagian dari gas NOx dapat berubah menjadi asam nitrat (HNO3) yang menyebabkan hujan asam, akan berakibat pada kerusakan tanah, yang akan mengganggu kegiatan pertanian dan kehidupan biota di sungai, danau, dan laut.
Dalam harian Kompas online pada 2 September 2010 lalu, diberitakan bahwa untuk mengatasi kemacetan khususnya di Ibukota Jakarta, pemerintah membuat terobosan dengan menetapkan 17 langkah menyeluruh yang meliputi berbagai aspek, lintas sektoral, wilayah dan kementerian.
Langkah itu mulai dari penerapan electronic road pricing (ERP), sterilisasi dan penambahan jalur busway, perbaikan jalan, kebijakan perpakiran, penetapan harga gas bagi angkutan transportasi, restrukturisasi angkutan jalan raya, perbaikan penglolaan angkutan kereta api, pembuatan jalur ganda berganda (double-double track) kereta api, pembangunan jalur rel kereta api lingkar dalam kota, penambahan jalan tol, peninjauan penggunaan kendaran kecil bagi angkutan transpor tasi sampai larangan angkutan liar.
Bahkan, pemerintah juga bertekad merealisasikan pembangunan sarana dan jalur transportasi missal (Mass Rapid Transit/MRT), pemanfaatan monorel, kereta api bandara Soekarno-Hatta hingga Stasiun Manggarai, pembentukan badan otoritas transportasi Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) dan sarana transportasi terpadu Jabodetabek hingga pengedalian jumlah kendaran sampai penyiapan lahan parkir di dekat-dekat stasiun kereta api di Kabupaten Bogor dan Provinsi Tangerang.
Sterilisasi jalur busway tetap di jalankan dan bahkan akan ditingkatkan mengingat upaya yang dilakukan ternyata memberikan dampak positif. Selain itu juga akan dilakukan penambahan jalur busway sampai tahun depan. Pemerintah juga meninjau ulang kebijakan parkir di kawasan yang telah d ilalui jalur Trans-Jakarta, terutama untuk parkir kendaraan yang dilakukan di pinggir jalan, katanya.
Restrukturisasi angkutan umum kendaraan kecil, juga harus dilakukan, Tujuannya, agar bisa diatur lagi jalurnya, terutama agar tidak tumpang tindih dengan jalur bus ukuran besar."Keberadaan kereta api Jabodetabek juga akan dilakukan penataan ulang jalur (rerouting) mengingat jalur saat ini dinilai tidak mampu optimal mengangkut penumpang,"
Untuk  melakukan pemantauan upaya mengatasi kemacetan di Jakarta yang semakin parah, Wapres juga menginstruksikan secara khusus kepada Kepala UKP4 untuk memantau berbagai upaya yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah mengatasi kemacetan di Ja karta agar tidak semakin parah.
Akibat  kemacetan di ibukota, kerugian yang diderita mencapai Rp 12,8 triliun per tahun. "Kerugian ini belum termasuk kehilangan waktu di perjalanan, tekanan psikis sampai stres dan gangguan kesehatan serta lainnya,"
Dari data UKP4, akibat kemacetan di DKI Jakarta, kecepatan kendaraan rata-rata menjadi lebih lambat. Kecepatan yang seharusnya dicapai rata-rata 30,5 kilometer per jam, kini hanya bisa ditempuh rata-rata 8,3 kilometer per jam. Ini di luar standar kecepatan rata-rata yang seharusnya mencapai 20 kilometer per jam.
Jika tidak dilakukan langkah-langkah terpadu dan menyeluruh, pada tahun 2012 mendatang, lalu lintas Jakarta akan benar-benar mengalami macet total. Dan kini di tahun 2012 ini, langkah-lagkah terpadu diatas belum nampak jelas dalam penanganan kemacetannya.
Pada umumnya, solusi kemacetan yang selalu ada dikepala para stakeholder pada sektor transportasi adalah penyediaan sarana transportasi massal. Bukan hanya para stakeholder, bahkan masyarakat pada umumnya pun banyak yang berpikiran bahwa dengan adanya sarana transportasi massal maka kemacetan akan dapat diatasi karena para masyarakat akan meninggalkan memakai kendaraan pribadinya. Akan tetapi fakta yang ada di lapangan saat ini, jumlah pemakaian kendaraan pribadi tetap saja meningkat bahkan meningkat melebihi dari hasil yang telah diprediksikan sebelumnya meskipun pada wilayah tersebut telah mempunyai sarana transportasi massal. Bayangkan saja, satu keluarga yang terdiri dari empat anggota bisa memiliki mobil masing-masing. Tentu tidak terbayang betapa padatnya suatu wilayah ketika seluruh mobil dan motor-motor itu keluar bersamaan. Produsen mobil/motor tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena mereka hanya berusaha memenuhi permintaan pasar. Sebagai contoh nyatanya, kita bisa dilihat pada Wilayah Ibu Kota Jakarta yang mengatasi kemacetan dengan menerapkan pengadaan sarana transportasi massal seperti Kereta Api dan Busway. Lalu bagaimana implementasi penerapan kedua sarana transportasi massal tersebut? Apakah harapan kita sudah sesuai dengan kenyataan yang terjadi? Dan jawaban intinya, tentu saja sarana transportasi massal tersebut sama sekali belum mampu mengatasi kemacetan.
Jika kita ingin memberi solusi terhadap suatu permasalahan, hal pertama yang harus kita cermati yaitu kita harus mengetahui terlebih dahulu apa akar dari permasalahan tersebut agar keputusan yang diambil juga merupakan keputusan yang bisa menyelesaikan masalah langsung sampai ke akarnya, bukannya mengatasi permasalahannya secara sesaat dan menimbulkan permasalahan baru yang mungkin jauh lebih rumit.
Sama halnya dengan masalah kemacetan itu sendiri. Kita tidak bisa menjudge sarana transportasi massal itu sebagai solusi dalam mengatasi kemacetan karena jumlah peminat penggunaan kendaraan pribadi jauh lebih banyak dibandingkan peminat pengguna sarana transportasi massal, apalagi sarana transportasi massal seperti mikrolet contohnya. Selama ini masyarakat lebih memilih kendaraan pribadi daripada angkutan umum disebabkan oleh beberapa faktor seperti, umumnya angkutan-angkutan umum yang sebenarnya sudah tidak layak pakai namun masih dipaksa sehingga penumpang merasa tidak nyaman. Faktor keamanan juga merupakan masalah utama. Masyarakat kurang meminati angkutan umum karena keamanan penumpang belum terjamin sepenuhnya. Adapun lagi penawaran sarana transportasi massal seperti busway, monorel, dan kereta api yang diterapkan di Kota-Kota Besar Dunia seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Hongkong, dan Bogota ini juga tidak terlalu banyak diminati di Indonesia meskipun sarana transportasi massal tersebut memberikan pelayanan aman, nyaman, dan cepat. Jika kita berbicara mengenai penyediaan sarana transportasi massal, maka kita harus memperhatikan empat hal yang utama yaitu, aman, nyaman, cepat, dan murah. Jadi meskipun sarana transportasi massal seperti busway maupun kereta api di Ibu Kota Jakarta telah ada, maka tetap saja pengguna jalan lebih memilih penggunaan kendaraan pribadinya karena penyedia pelayanan jasa tersebut terbilang mahal karena tidak semua golongan strata ekonomi yang bisa menikmatinya.
Bertitik tolak pada akar utama permasalahan kemacetan yakni semakin meningkatnya jumlah kendaraan pribadi, maka solusi yang paling tepatnya adalah menekan jumlah kepemilikan kendaraan pribadi. Dalam hal ini, kita bukannya melarang orang untuk membeli mobil atau motor. Akan tetapi penekanan tersebut lebih cenderung kepada menaikkan pajak kepemilikan kendaraan bermotor, menaikkan tarif parkir kendaraan, dan mengeluarkan aturan yang tegas tentang jangka waktu pemakaian kendaraan. Ketika pajak kendaraan bermotor tinggi, orang-orang tentunya akan berpikir hal itu sangat memberatkan. Pada akhirnya mereka mungkin akan memutuskan untuk memiliki kendaraan pribadi seperlunya saja. Begitu juga dengan uang muka saat akan membeli kendaraan bermotor baru. Sekarang ini, hanya dengan uang muka Rp. 500.000,- sebuah sepeda motor bisa di bawa pulang. Tentunya ini malah akan meningkatkan jumlah pembelian kendaraan bermotor.
Sama halnya dengan kebijakan menaikkan pajak kendaraan bermotor, dengan menaikkan tarif parkir kendaraan maka orang-orang akan berpikir untuk menggunakan kendaraan pribadi saat bepergian, misalnya saja di suatu Pusat Perbelanjaan. Untuk wilayah Kota Makassar, Tarif parkir di setiap Pusat Perbelanjaannya relatif hampir sama. Tarif parkir sepeda motor untuk satu jam pertama Rp.1.000,-, satu jam kedua Rp. 2.000,-, dan satu jam ketiga hingga batas waktu maximal hanya Rp.3.000,-. Tarif parkir mobil untuk satu jam pertama Rp.2.000,-, satu jam kedua Rp. 4.000,-, dan satu jam ketiga hingga batas waktu maximal hanya Rp.5.000,-. Jika saja tarif parkir sepeda motor dinaikkan menjadi Rp.5.000,- dan tarif parkir mobil menjadi Rp.10.000,- tiap jamnya, maka tentu saja banyak yang berpikir untuk tidak menggunakan kendaraan pribadinya.
Pengeluaran aturan yang tegas tentang jangka waktu pemakaian kendaraan dimaksudkan agar pemakaian kendaraan bermotor dibatasi berdasarkan tahun produksinya, tentu paling tidak bisa mengurangi sedikit kepadatan kendaraan di kota. Dan yang pasti bisa mengurangi polusi udara, karena umumnya kendaraan-kendaraan tua yang sudah tidak layak pakai, terutama angkutan umum, selalu menyebabkan polusi.
Jika kita melihat ketiga langkah mengatasi kemacetan diatas, ternyata semuanya bertumpu pada kebijakan yang akan di keluarkan oleh Pemerintah. Jadi, dalam hal ini Pemerintah berwenang untuk membuat aturan yang tegas dan wajib mengamanatkan turunan peraturan tersebut pada Dinas Perhubungan Darat. Yang wajib tetaplah “wajib” dan yang wajib bukan untuk di jadikan “sunnah”. Jika penanganan utama kemacetan di ambil alih oleh Pemerintah sebagai pemberi kebijakan, maka kita sebagai generasi muda sepatutnya juga berpartsipasi dalam mengatasi kemacetan di negara kita ini dengan cara mematuhi aturan dan rambu-rambu lalu lintas karena kebanyakan yang melakukan pelanggaran lalu lintas adalah dari kaum muda. Jika dari generasi mudanya telah memiliki kesadaran tinggi untuk mematuhi peraturan lalu lintas maka Indonesia ke depannya akan menjadi Negara Maju. Negara yang mampu bangkit dari segala keterpurukan dengan semangat para pemuda-pemudinya. Sikap optimis itu perlu selama ada niat dan komitmen untuk melaksanakannya.
Jadi kesimpulannya, stop kendaraan pribadi jauh lebih penting daripada pengadaan sarana transportasi massal di Indonesia saat ini. Jangan pernah berpikir bahwa “dengan adanya alat transportasi massal, kemacetan dapat teratasi”. Tetapi, berpikirlah bahwa “kemacetan itu bisa diatasi jika volume kendaraan pribadi di jalan tidak lagi mengalami kepadatan”. Dan selama volume kendaraan pribadi di jalan masih belum bisa dibatasi, maka selama itu juga kita tidak boleh setuju terhadap proyek rencana pengadaan sarana transportasi massal. Kita harus fokuskan penyelesaian masalah pada satu titik saja agar solusi permasalahan tersebut tepat pada sasarannya. Tidak ada kata terlambat untuk sebuah gerakan perubahan. Mending terlambat daripada tidak sama sekali. Ini semua dilakukan untuk Indonesia lebih baik ke depannya. Jayalah Bangsanya dan Majulah Negeri ku!


*****
DAFTAR PUSTAKA

Anashir. 2012. “Negara dengan Penduduk Terbanyak di Dunia”. (http://www.anashir.com/2012/10/072100/161451/10-negara-dengan-penduduk -terbanyak-di-dunia) diakses pada tanggal 27 November 2012

Kompas. 2010. “Langkah Urai Kemacetan di Jakarta”.(http://megapolitan.kompas. com/read/2010/09/02/22004019/17.Langkah.Urai.Kemacetan.di.Jakarta) diakses pada tanggal 27 November 2012

Hamsah, May.  2011. “Makalah Transportasi”. (http://mayhamsah-makalah. blogspot.com/2011/06/makalah-transportasi.html) diakses pada tanggal 27 November 2012

Setyonugroho, Vidiyanti. 2011. “Transportasi Massal di Indonesia”.(http:// piapiamaniez.wordpress.com/2011/01/24/transportasi-massal-di-indonesia/ vidiyantisetyonugroho)

Wunas, Shirly. 2011. Kota Humanis. Integrasi Guna Lahan dan Transportasi di Wilayah Sub Urban. Surabaya: Brilian Internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar