Republik
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan di Asia Tenggara yang terdiri dari
ribuan pulau dan ratusan suku bangsa. Indonesia memiliki luas daratan
1.904.569 Km2 dan menurut Bank Dunia jumlah populasi
Indonesia saat ini, tahun 2012 adalah 242.325.638 jiwa. Dengan jumlah
penduduk yang sekian, menjadikan Indonesia sebagai Negara Keempat di dunia
dengan penduduk terbanyak setelah China, India, dan Amerika Serikat. Hal ini tentunya membawa berbagai dampak bagi
kehidupan masyarakat, salah satunya adalah permasalahan dalam hal mobilisasi
yaitu tersedianya sarana transportasi yang memadai.
Sektor
transportasi dikenal sebagai salah satu mata rantai jaringan distribusi barang
dan penumpang telah berkembang sangat dinamis serta berperan didalam menunjang
pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan. Pertumbuhan
sektor ini akan mencerminkan pertumbuhan ekonomi secara langsung sehingga
transportasi mempunyai peranan yang penting dan strategis. Keberhasilan sektor
transportasi dapat dilihat dari kemampuannya dalam menunjang serta mendorong
peningkatan ekonomi nasional, regional dan lokal, stabilitas politik termasuk
mewujudkan nilai-nilai sosial dan budaya yang diindikasikan melalui berbagai indikator transportasi antara lain: kapasitas, kualitas
pelayanan, aksesibilitas keterjangkauan, beban publik dan utilisasi. Karena
wilayah Republik Indonesia sebagian besar berada di daratan, maka kebutuhan
sarana transportasi darat sangat mengalami peningkatan yang signifikan. Hal
tersebut dapat dilihat secara nyata, pada jumlah kebutuhan akan jumlah kendaraan
di darat jauh lebih banyak daripada kebutuhan untuk jumlah kendaraan yang ada
di laut maupun di udara.
Berbicara
mengenai transportasi, maka kita tidak bisa terlepas pada kajian land use planning system atau Sistem
Perencanaan Penggunaan Lahan dan terkhusus pada pembahasan ini, penulis
memfokuskan pada ruang perkotaan karena sistem transportasi di wilayah
perkotaan sangat perlu diperhatikan perencanaan dan managemennya agar kota-kota
di Indonesia tidak lagi selalu mengalami satu permasalahan umum dari sistem transportasi
yakni kemacetan.
Ruang
kota diperlukan untuk melayani berbagai macam kebutuhan manusia; perumahan
(wisma), lapangan kerja (karya), interaksi sosial dan sarana rekreasi (suka),
dan angkutan penumpang dan barang (marga). Oleh karena itu, perencanaan ruang
perkotaan harus terintegrasi dengan perencanaan sarana dan prasarananya,
khususnya prasarana transportasinya karena rencana
kota tanpa mempertimbangkan keadaan dan pola transportasi yang akan terjadi
sebagai akibat dari rencana itu sendiri, akan menghasilkan kesemrawutan lalu
lintas di kemudian hari. Akibat lebih lanjut adalah meningkatnya jumlah
kecelakaan, pelanggaran, dan menurunnya sopan-santun berlalu-lintas, serta
meningkatnya pencemaran udara.
Peran transportasi kian menjadi bagian terpenting dalam kehidupan kota.
Pertumbuhan ekonomi dan perubahan gaya hidup modern telah menyebabkan
perjalanan penduduk lebih meningkat. Masalah transportasi perkotaan selain
dipengaruhi oleh faktor tersebut, juga akibat dari keterkaitan beberapa aspek,
antara lain (1) perkembangan ruang perkotaan secara tidak terstruktur (urban sprawl), (2) perkembangan ekonomi
masyarakat perkotaan yang membutuhkan rumah, investor membutuhkan lahan
industri dan pergudangan, serta prasarana lainnya, (3) sistem jaringan jalan
dan pola angkutan umum yang terbatas dan belum terintegrasi dengan sistem
rencana ruang/guna lahan (Wunas, 2011).
Dengan tidak
terstrukturnya pola pembangunan di wilayah perkotaan, maka akan berpengaruh
pada peningkatan kepadatan penduduk secara tiba-tiba dan menimbulkan tarikan
atau bangkitan lalu lintas. Akibat dari perkembangan kota yang secara sporadis
ini, maka penduduk sangat tergantung pada kendaraan pribadi, baik berupa mobil
maupun motor sehingga berdampak pada peningkatan volume dan kepadatan lalu
lintas serta kemacetan lalu lintas.
Kemacetan lalu lintas
menimbulkan masalah lingkungan hidup, seperti emisi kendaraan mengeluarkan
karbon monoksida (CO), nitrooksida (NOx), hidrokarbon (HC). Emisi kendaraan
bermotor 76% dari jaringan jalan (Wunas,2011). Studi 1989 Bank Dunia
menjelaskan bahwa penduduk pada daerah padat kendaraan beresiko 12,8 kali lebih
besar gangguan kesehatan daripada daerah yang jarang kendaraan.
CO adalah gas beracun
yang bisa merusak kesehatan pengguna jalan. Selain itu, di udara sebagian dari
gas NOx dapat berubah menjadi asam nitrat (HNO3) yang menyebabkan hujan asam,
akan berakibat pada kerusakan tanah, yang akan mengganggu kegiatan pertanian
dan kehidupan biota di sungai, danau, dan laut.
Dalam harian Kompas online pada 2 September 2010 lalu, diberitakan
bahwa untuk mengatasi kemacetan khususnya di Ibukota Jakarta, pemerintah
membuat terobosan dengan menetapkan 17 langkah menyeluruh yang meliputi
berbagai aspek, lintas sektoral, wilayah dan kementerian.
Langkah itu mulai dari
penerapan electronic
road pricing (ERP),
sterilisasi dan penambahan jalur busway, perbaikan jalan, kebijakan perpakiran,
penetapan harga gas bagi angkutan transportasi, restrukturisasi angkutan jalan
raya, perbaikan penglolaan angkutan kereta api, pembuatan jalur ganda berganda
(double-double track) kereta api, pembangunan jalur rel kereta api
lingkar dalam kota, penambahan jalan tol, peninjauan penggunaan kendaran kecil
bagi angkutan transpor tasi sampai larangan angkutan liar.
Bahkan, pemerintah juga
bertekad merealisasikan pembangunan sarana dan jalur transportasi missal (Mass
Rapid Transit/MRT), pemanfaatan monorel, kereta api bandara Soekarno-Hatta
hingga Stasiun Manggarai, pembentukan badan otoritas transportasi Jakarta,
Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) dan sarana transportasi terpadu
Jabodetabek hingga pengedalian jumlah kendaran sampai penyiapan lahan parkir di
dekat-dekat stasiun kereta api di Kabupaten Bogor dan Provinsi Tangerang.
Sterilisasi jalur
busway tetap di jalankan dan bahkan akan ditingkatkan mengingat upaya yang
dilakukan ternyata memberikan dampak positif. Selain itu juga akan dilakukan
penambahan jalur busway sampai tahun depan. Pemerintah juga meninjau ulang
kebijakan parkir di kawasan yang telah d ilalui jalur Trans-Jakarta, terutama
untuk parkir kendaraan yang dilakukan di pinggir jalan, katanya.
Restrukturisasi
angkutan umum kendaraan kecil, juga harus dilakukan, Tujuannya, agar bisa
diatur lagi jalurnya, terutama agar tidak tumpang tindih dengan jalur bus
ukuran besar."Keberadaan kereta api Jabodetabek juga akan dilakukan
penataan ulang jalur (rerouting) mengingat jalur saat ini dinilai tidak mampu
optimal mengangkut penumpang,"
Untuk melakukan pemantauan upaya mengatasi kemacetan
di Jakarta yang semakin parah, Wapres juga menginstruksikan secara khusus
kepada Kepala UKP4 untuk memantau berbagai upaya yang dilakukan pemerintah
pusat dan daerah mengatasi kemacetan di Ja karta agar tidak semakin parah.
Akibat kemacetan di ibukota, kerugian yang diderita
mencapai Rp 12,8 triliun per tahun. "Kerugian ini belum termasuk
kehilangan waktu di perjalanan, tekanan psikis sampai stres dan gangguan
kesehatan serta lainnya,"
Dari data UKP4, akibat
kemacetan di DKI Jakarta, kecepatan kendaraan rata-rata menjadi lebih lambat. Kecepatan
yang seharusnya dicapai rata-rata 30,5 kilometer per jam, kini hanya bisa
ditempuh rata-rata 8,3 kilometer per jam. Ini di luar standar kecepatan
rata-rata yang seharusnya mencapai 20 kilometer per jam.
Jika tidak dilakukan
langkah-langkah terpadu dan menyeluruh, pada tahun 2012 mendatang, lalu lintas
Jakarta akan benar-benar mengalami macet total. Dan kini di tahun 2012 ini, langkah-lagkah terpadu diatas belum nampak
jelas dalam penanganan kemacetannya.
Pada umumnya, solusi
kemacetan yang selalu ada dikepala para stakeholder
pada sektor transportasi adalah penyediaan sarana transportasi massal. Bukan
hanya para stakeholder, bahkan
masyarakat pada umumnya pun banyak yang berpikiran bahwa dengan adanya sarana transportasi
massal maka kemacetan akan dapat diatasi karena para masyarakat akan
meninggalkan memakai kendaraan pribadinya. Akan tetapi fakta yang ada di
lapangan saat ini, jumlah pemakaian kendaraan pribadi tetap saja meningkat
bahkan meningkat melebihi dari hasil yang telah diprediksikan sebelumnya
meskipun pada wilayah tersebut telah mempunyai sarana transportasi massal. Bayangkan saja, satu keluarga yang
terdiri dari empat anggota bisa memiliki mobil masing-masing. Tentu tidak
terbayang betapa padatnya suatu wilayah ketika seluruh mobil dan motor-motor
itu keluar bersamaan. Produsen mobil/motor tidak bisa sepenuhnya disalahkan,
karena mereka hanya berusaha memenuhi permintaan pasar. Sebagai
contoh nyatanya, kita bisa dilihat pada Wilayah Ibu Kota Jakarta yang mengatasi
kemacetan dengan menerapkan pengadaan sarana transportasi massal seperti Kereta
Api dan Busway. Lalu bagaimana implementasi penerapan kedua sarana transportasi
massal tersebut? Apakah harapan kita sudah sesuai dengan kenyataan yang
terjadi? Dan jawaban intinya, tentu saja sarana transportasi massal tersebut
sama sekali belum mampu mengatasi kemacetan.
Jika kita ingin memberi
solusi terhadap suatu permasalahan, hal pertama yang harus kita cermati yaitu
kita harus mengetahui terlebih dahulu apa akar dari permasalahan tersebut agar
keputusan yang diambil juga merupakan keputusan yang bisa menyelesaikan masalah
langsung sampai ke akarnya, bukannya mengatasi permasalahannya secara sesaat
dan menimbulkan permasalahan baru yang mungkin jauh lebih rumit.
Sama halnya dengan
masalah kemacetan itu sendiri. Kita tidak bisa menjudge sarana transportasi massal itu sebagai solusi dalam mengatasi
kemacetan karena jumlah peminat penggunaan kendaraan pribadi jauh lebih banyak
dibandingkan peminat pengguna sarana transportasi massal, apalagi sarana
transportasi massal seperti mikrolet contohnya. Selama
ini masyarakat lebih memilih kendaraan pribadi daripada angkutan umum
disebabkan oleh beberapa faktor seperti, umumnya angkutan-angkutan umum yang
sebenarnya sudah tidak layak pakai namun masih dipaksa sehingga penumpang
merasa tidak nyaman. Faktor keamanan juga merupakan masalah utama. Masyarakat
kurang meminati angkutan umum karena keamanan penumpang belum terjamin
sepenuhnya. Adapun lagi penawaran sarana transportasi massal seperti busway,
monorel, dan kereta api yang diterapkan di Kota-Kota Besar Dunia seperti
Singapura, Malaysia, Thailand, Hongkong, dan Bogota ini juga tidak
terlalu banyak diminati di Indonesia meskipun sarana transportasi massal
tersebut memberikan pelayanan aman, nyaman, dan cepat. Jika kita berbicara
mengenai penyediaan sarana transportasi massal, maka kita harus memperhatikan
empat hal yang utama yaitu, aman, nyaman, cepat, dan murah. Jadi meskipun
sarana transportasi massal seperti busway maupun kereta api di Ibu Kota Jakarta
telah ada, maka tetap saja pengguna jalan lebih memilih penggunaan kendaraan
pribadinya karena penyedia pelayanan jasa tersebut terbilang mahal karena tidak
semua golongan strata ekonomi yang bisa menikmatinya.
Bertitik tolak pada
akar utama permasalahan kemacetan yakni semakin meningkatnya jumlah kendaraan
pribadi, maka solusi yang paling tepatnya adalah menekan jumlah kepemilikan
kendaraan pribadi. Dalam hal ini, kita bukannya melarang orang untuk membeli
mobil atau motor. Akan tetapi penekanan tersebut lebih cenderung kepada
menaikkan pajak kepemilikan kendaraan bermotor, menaikkan tarif parkir
kendaraan, dan mengeluarkan aturan yang tegas tentang jangka waktu pemakaian
kendaraan. Ketika
pajak kendaraan bermotor tinggi, orang-orang tentunya akan berpikir hal itu
sangat memberatkan. Pada akhirnya mereka mungkin akan memutuskan untuk memiliki
kendaraan pribadi seperlunya saja. Begitu juga dengan uang muka saat akan
membeli kendaraan bermotor baru. Sekarang ini, hanya dengan uang muka Rp.
500.000,- sebuah sepeda motor bisa di bawa pulang. Tentunya ini malah akan
meningkatkan jumlah pembelian kendaraan bermotor.
Sama halnya dengan kebijakan menaikkan pajak kendaraan bermotor,
dengan menaikkan tarif parkir kendaraan maka orang-orang akan berpikir untuk
menggunakan kendaraan pribadi saat bepergian, misalnya saja di suatu Pusat Perbelanjaan.
Untuk wilayah Kota Makassar, Tarif parkir di setiap Pusat Perbelanjaannya relatif
hampir sama. Tarif parkir sepeda motor untuk satu jam pertama Rp.1.000,-, satu
jam kedua Rp. 2.000,-, dan satu jam ketiga hingga batas waktu maximal hanya
Rp.3.000,-. Tarif parkir mobil untuk satu jam pertama Rp.2.000,-, satu jam
kedua Rp. 4.000,-, dan satu jam ketiga hingga batas waktu maximal hanya Rp.5.000,-.
Jika saja tarif parkir sepeda motor dinaikkan menjadi Rp.5.000,- dan tarif
parkir mobil menjadi Rp.10.000,- tiap jamnya, maka tentu saja banyak yang
berpikir untuk tidak menggunakan kendaraan pribadinya.
Pengeluaran aturan yang
tegas tentang jangka waktu pemakaian kendaraan dimaksudkan agar pemakaian kendaraan bermotor dibatasi
berdasarkan tahun produksinya, tentu paling tidak bisa mengurangi sedikit
kepadatan kendaraan di kota. Dan yang pasti bisa mengurangi polusi udara,
karena umumnya kendaraan-kendaraan tua yang sudah tidak layak pakai, terutama
angkutan umum, selalu menyebabkan polusi.
Jika kita melihat ketiga langkah mengatasi kemacetan diatas,
ternyata semuanya bertumpu pada kebijakan yang akan di keluarkan oleh
Pemerintah. Jadi, dalam hal ini Pemerintah berwenang untuk membuat aturan yang
tegas dan wajib mengamanatkan turunan peraturan tersebut pada Dinas Perhubungan
Darat. Yang wajib tetaplah “wajib” dan yang wajib bukan untuk di jadikan
“sunnah”. Jika penanganan utama kemacetan di ambil alih oleh Pemerintah sebagai
pemberi kebijakan, maka kita sebagai generasi muda sepatutnya juga
berpartsipasi dalam mengatasi kemacetan di negara kita ini dengan cara mematuhi
aturan dan rambu-rambu lalu lintas karena kebanyakan yang melakukan pelanggaran
lalu lintas adalah dari kaum muda. Jika dari generasi mudanya telah memiliki
kesadaran tinggi untuk mematuhi peraturan lalu lintas maka Indonesia ke
depannya akan menjadi Negara Maju. Negara yang mampu bangkit dari segala
keterpurukan dengan semangat para pemuda-pemudinya. Sikap optimis itu perlu
selama ada niat dan komitmen untuk melaksanakannya.
Jadi kesimpulannya, stop kendaraan pribadi jauh lebih penting
daripada pengadaan sarana transportasi massal di Indonesia saat ini. Jangan
pernah berpikir bahwa “dengan adanya alat transportasi massal, kemacetan dapat
teratasi”. Tetapi, berpikirlah bahwa “kemacetan itu bisa diatasi jika volume
kendaraan pribadi di jalan tidak lagi mengalami kepadatan”. Dan selama volume
kendaraan pribadi di jalan masih belum bisa dibatasi, maka selama itu juga kita
tidak boleh setuju terhadap proyek rencana pengadaan sarana transportasi
massal. Kita harus fokuskan penyelesaian masalah pada satu titik saja agar
solusi permasalahan tersebut tepat pada sasarannya. Tidak ada kata terlambat
untuk sebuah gerakan perubahan. Mending terlambat daripada tidak sama sekali.
Ini semua dilakukan untuk Indonesia lebih baik ke depannya. Jayalah Bangsanya
dan Majulah Negeri ku!
*****
DAFTAR
PUSTAKA
Anashir. 2012. “Negara dengan Penduduk Terbanyak di Dunia”. (http://www.anashir.com/2012/10/072100/161451/10-negara-dengan-penduduk
-terbanyak-di-dunia) diakses
pada tanggal 27 November 2012
Kompas. 2010. “Langkah Urai
Kemacetan di Jakarta”.(http://megapolitan.kompas.
com/read/2010/09/02/22004019/17.Langkah.Urai.Kemacetan.di.Jakarta) diakses pada tanggal 27 November 2012
Hamsah, May. 2011. “Makalah Transportasi”.
(http://mayhamsah-makalah.
blogspot.com/2011/06/makalah-transportasi.html)
diakses pada tanggal 27 November
2012
Setyonugroho, Vidiyanti. 2011. “Transportasi Massal di
Indonesia”.(http://
piapiamaniez.wordpress.com/2011/01/24/transportasi-massal-di-indonesia/ vidiyantisetyonugroho)
Wunas, Shirly. 2011. Kota Humanis. Integrasi Guna Lahan dan Transportasi di Wilayah Sub
Urban. Surabaya: Brilian Internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar