Alih Fungsi Lahan Menyebabkan Kurangnya
Ruang Terbuka Hijau di Kota Makassar
Secara
definitif, Ruang Terbuka Hijau (Green
Openspaces) adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi
oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan
habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan atau
pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain
untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah,
Ruang Terbuka Hijau (Green
Openspaces) di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk
meningkatkan kualitas lansekap kota (http://newsalloy.com).
Sejumlah
areal di perkotaan, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, ruang
publik, telah tersingkir akibat pembangunan gedung-gedung yang
cenderung berpola “kontainer”(container development) yakni
bangunan yang secara sekaligus dapat menampung berbagai aktivitas sosial
ekonomi, seperti Mall, Perkantoran, Hotel, dan lain sebagainya, yang berpeluang
menciptakan kesenjangan antar lapisan masyarakat. Hanya orang-orang kelas
menengah ke atas saja yang “percaya diri” untuk datang ke
tempat-tempat semacam itu (http://newsalloy.com).
Ruang
terbuka hijau yang ideal adalah 30 % dari luas wilayah. Hampir disemua kota
besar di Indonesia, Ruang terbuka hijau saat ini baru mencapai 10%
dari luas kota. Padahal ruang terbuka hijau diperlukan untuk kesehatan, arena
bermain, olah raga dan komunikasi publik. Pembinaan ruang terbuka hijau harus
mengikuti struktur nasional atau daerah dengan standar-standar yang ada (http://newsalloy.com).
Tak
terkecuali dengan Kota Makassar itu sendiri. Kota Makassar saat ini juga sangat
kekurangan sekali akan ruang terbuka hijau. Menurut saya, Makassar sangat minim
sekali terhadap penggunaan lahan untuk ruang terbuka hijaunya disebabkan karena
terjadinya alih fungsi lahan menjadi kawasan komersil. Hal tersebut dapat
dilihat pada kenyataan yang terjadi sekarang ini. Sebagai contoh kecilnya yaitu
pada Wilayah Kecamatan Tamalanrea khususnya di Jalan Perintis Kemerdekaan.
Sejauh
mata memandang pada sepanjang Jalan Perintis Kemerdekaan ini, tak luput dari
pandangan kita tentang keberadaan dari bangunan ruko di ruas kiri dan ruas
kanan jalan ini. Jika kita menengok pada Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6
Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar 2005-2015,
dicantumkan bahwa wilayah Kecamatan Panakkukang di peruntukkan sebagai kawasan
yang fungsi utamanya sebagai kawasan pendidikan tinggi terpadu. Namun pada
implementasinya, hal tersebut sudah menyalahi aturan karena wilayah ini hanya
didominasi oleh bangunan ruko. Nah,
sekarang apa hasil dari alih fungsi lahan ini saat musim hujan tiba? Tidak lain
dan tidak bukan yaitu terjadinya banjir.
Seandainya
saja para stakeholder yang berperan
dalam hal ini tetap berada dan mengacu pada dokumen tata ruang yang telah
dibuat maka bencana alam seperti banjir ini tidak akan terjadi karena seperti
yang saya ketahui bahwa yang menjadi prioritas utama dalam penggunaan lahan
suatu kawasan pendidikan itu adalah keberadaan ruang terbuka hijaunya. Dan
sekarang jika ruko yang mendominasi di wilayah ini maka tentu saja developer dari ruko tersebut tidak
memikirkan masalah ruang terbuka hijaunya. Tak apalah jika memang RTH itu
dikebelakangkan tapi mestinya yang tetap jadi pemikiran mereka yaitu masalah prasarana
drainase dari bangunan tersebut agar limpasan air hujan dan hasil buangan
limbahnya tidak meluber ke badan jalan saat musim hujan tiba.
Kesimpulan
dari tulisan saya ini yaitu, kurangnya ruang terbuka hijau di Kota Makassar
disebabkan oleh alih fungsi lahan menjadi kawasan komersil. Jalan perintis
kemerdekaan merupakan contoh kecil yang ditarik dari permasalahan terhadap kekurangan
akan penggunaan lahan ruang terbuka hijau dikota ini. Setidaknya dari contoh
kecil inilah yang harus dicari solusi penanganan permasalahannya karena imbas
dari permasalahan yang kecil inilah yang akan menjadi permasalahan besar jika
hanya menjadikan sebuah dokumen tata ruang yang ada itu sebagai koleksi
pajangan semata.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar