Kota
diartikan sebagai suatu sistem jaringan
kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan
diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang matrealistis, atau dapat pula diartikan
sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami
dengan gejala pemusatan penduduk daerah belakangnya. Beberapa aspek kehidupan
di kota antara lain aspek sosial sebagai pusat pendidikan, pusat kegiatan
ekonomi , dan pusat pemerintahan. Ditinjau dari hirarki tempat, kota itu
memiliki tingkat atau rangking yang tertinggi, walaupun demikian menurut
sejarah perkembangannya kota itu berasal dari tempat-tempat pemukiman sederhana
(Bintarto dalam radonkey.blogspot.com).
Fungsi
kota antara lain yaitu sebagai pusat produksi (production centre), sebagai pusat perdagangan (centre of trade and commerce), sebagai pusat pemerintahan (political capital), sebagai pusat
kebudayaan (culture centre), dan
sebagai pusat kesehatan atau rekreasi (health
and recreation) (indahpurnamawati.blogdetik.com).
Dalam
pengertian dan fungsi kota yang ada di atas, tentu saja kita telah mempunyai
gambaran sedikit tentang bagaimana penataan ruang kota dalam bentuk yang nyata.
Apakah sama teori tentang kota tersebut dengan fakta yang terjadi dilapangan?
Pada tulisan ini, saya mencoba menyusun tentang esai yang berkaitan dengan
penataan-penataan ruang wilayah dengan sub topik pengendalian.
Perencanaaan
wilayah pada dasarnya adalah menetapkan ada bagian-bagian wilayah (zona) yang
dengan tegas diatur penggunannya dan ada wilayah yang kurang diatur penggunaannya
agar pemanfaatan itu dapat memberikan kemakmuran yang cukup besar kepada
masyarakat baik jangka pendek maupun jangka panjang termasuk menunjang daya
pertahanan dan terciptanya keamanan. Selain itu akan
dapat membantu atau memandu para pelaku ekonomi untuk memilih kegiatan apa yang
perlu dikembangkan di masa yang akan datang dan dimana lokasi kegiatan seperti
itu masih diizinkan oleh pemerintah dan masyarakat sekitarnya. Hal ini dapat
mempercepat pembangunan karena investor mendapatkan kepastian hukum tentang
lokasi usahanya untuk menjamin keteraturan dan menjauhkan benturan kepentingan (Robinson
Tarigan, Perencanaan Pembangunan Wilayah: 2005, halaman 49 dalam jurnal online).
Pemerintah
Kota Makassar mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota Makassar Tahun 2005-2015 yang mana di dalam peraturan
daerah tersebut telah diatur secara keseluruhan tentang pembagian zona-zona
penggunaan yang ada di Kota Makassar.
Pada
bab IV mengenai Kebijakan dan Strategi Pengembangan Tata Ruang yang di
cantumkan pada pasal 8 Wilayah Pengembangan, sesuai dengan karakteristik fisik
dan perkembangannya, Makassar dibagi atas 13 kawasan terpadu dengan kebijakan pembangunan
untuk masing-masing wilayah pengembangan sebagai berikut: (1) Wilayah
Pengembangan (WP) I dibagian atas Sungai Tallo, tepatnya dibagian Utara dan
Timur Kota, dengan dasar kebijakan utamanya diarahkan pada peningkatan peran
dan fungsi-fungsi kawasan yang berbasiskan pada pengembangan infrastruktur
dasar ekonomi perkotaan melalui pengembangan kegiatan secara terpadu seperti
pengembangan fungsi dari sektor industri dan pergudangan, pusat kegiatan
perguruan tinggi, pusat penelitian, bandar udara yang berskala internasional,
kawasan maritim dan pusat kegiatan penelitian sebagai sentra primer baru bagian
Utara Kota; (2) Wilayah Pengembangan (WP) II dibagian bawah Sungai Tallo,
tepatnya dibagian Timur dari Jalan Andi Pengeran Pettarani sampai dengan batas
bagian bawah dari Sungai Tallo, dengan dasar kebijakan utamanya mengarah pada pengembangan
kawasan pemukiman perkotaan secara terpadu dalam bingkai pengembangan sentra
primer baru bagian Timur Kota; (3) Wilayah Pengembangan (WP) III Pusat Kota,
tepatnya berada pada sebelah Barat dari Jalan Andi Pengeran Pettarani sampai
dengan Pantai Losari dan batas bagian atas dari Sungai Balang Beru (Danau
Tanjung Bunga), dengan dasar kebijakan utamanya mengarah pada kegiatan
revitalisasi Kota, pengembangan pusat jasa dan perdagangan, pusat bisnis dan
pemerintahan serta pengembangan kawasan pemukiman secara terbatas dan
terkontrol guna mengantisipasi semakin terbatasnya lahan Kota yang tersedia
dengan tanpa mengubah dan mengganggu kawasan dan atau bangunan cagar budaya;
(4) Wilayah Pengembangan (WP) IV dibagian bawah Sungai Balang Beru (Danau Tanjung
Bunga), tepatnya batas bagian bawah dari Sungai Balang Beru sampai dengan batas
administrasi Kabupaten Gowa, dengan dasar kebijakan utamanya mengarah pada
pengembangan kawasan secara terpadu untuk pusat kegiatan kebudayaan, pusat
bisnis global terpadu yang berstandar internasional, pusat bisnis dan
pariwisata terpadu dan pusat olahraga terpadu yang sekaligus menjadi sentra
primer baru bagian Selatan Kota; (5) Wilayah Pengembangan (WP) V Kepulauan
Spermonde Makassar, dengan dasar kebijakan utamanya yang diarahkan pada
peningkatan kegiatan pariwisata, kualitas kehidupan masyarakat nelayan melalui
peningkatan budidaya laut dan pemanfaatan sumber daya perikanan dengan
konservasi ekosistem terumbu karang.
Dan
untuk selanjutnya dijelaskan pada pasal 9 mengenai Kawasan Pengembangan Terpadu
Kota Makassar, sebagaimana dimaksud Pasal 8, terdiri atas: (1) Kawasan Pusat
Kota, yang berada pada bagian tengah Barat dan Selatan Kota mencakup wilayah
Kecamatan Wajo, Bontoala, Ujung Pandang, Mariso, Makassar, Ujung Tanah dan
Tamalate; (2) Kawasan Permukiman Terpadu, yang berada pada bagian tengah pusat
dan Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Manggala, Panakukang, Rappocini dan
Tamalate; (3) Kawasan Pelabuhan Terpadu, yang berada pada bagian tengah Barat
dan Utara Kota, mencakup wilayah Kecamatan Ujung Tanah dan Wajo; (4) Kawasan
Bandara Terpadu, yang berada pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah
Kecamatan Biringkanaya dan Tamalanrea; (5) Kawasan Maritim Terpadu, yang berada
pada bagian Utara Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea; (6) Kawasan
Industri Terpadu, yang berada pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah
Kecamatan Tamalanrea dan Biringkanaya; (7) Kawasan Pergudangan Terpadu, yang
berada pada bagian Utara Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea,
Biringkanaya dan Tallo; (8) Kawasan Pendidikan Tinggi Terpadu, yang berada pada
bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Panakukang, Tamalanrea dan
Tallo; (9) Kawasan Penelitian Terpadu, yang berada pada bagian tengah Timur Kota,
mencakup wilayah Kecamatan Tallo;
(10) Kawasan Budaya Terpadu, yang berada pada bagian Selatan Kota, mencakup
wilayah Kecamatan Tamalate; (11) Kawasan Olahraga Terpadu, yang berada pada
bagian Selatan Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalate; (12)Kawasan Bisnis
dan Pariwisata Terpadu, yang berada pada bagian tengah Barat Kota, mencakup
wilayah Kecamatan Tamalate; (13) Kawasan Bisnis Global Terpadu, yang berada
pada bagian tengah Barat Kota, mencakup wilayah Kecamatan Mariso.
Dari
pasal 8 dan pasal 9 diatas, kita telah mengetahui zona-zona tentang pembagian
penggunaan lahan yang ada di Kota Makassar karena pada bab selanjutnya juga
dijelaskan tentang strategi-strategi dan rencana pengembangan wilayah tersebut.
Namun untuk pembahasan ini, aturan yang diangkat hanya dibatasi pada 2 pasal
tersebut agar dalam menyusun tulisan ini saya bisa terfokus pada judul yang
saya angkat.
Berkaitan
dengan aturan-aturan rencana penataan ruang yang telah dicantumkan pada Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota Makassar jika dilihat pada kenyataannya, hampir sangat
berbanding terbalik. Kota Makassar saat ini sangat berantakan bukannya malah
menuju kota dunia seperti yang sering dibicarakan pada media-media komunikasi.
Kehidupan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan juga tidak dirasakan
secara menyeluruh oleh para penduduknya.
Pada
pasal 4 dan bab 3 Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2006, juga disebutkan tentang
Visi Penataan Ruang Kota adalah mewujudkan Makassar sebagai Kota Maritim, Niaga,
Pendidikan, Budaya, dan Jasa yang berorientasi Global, Berwawasan Lingkungan
dan Paling Bersahabat. Nah,lagi-lagi
makassar saat ini bukan termasuk ke dalam kategori tersebut.
Perencanaan di Kota Makassar
tampaknya sekarang dibuat tidak dengan pertimbangan sustainable atau berkelanjutan. Perencanaan pembangunan lebih banyak
dilakukan berorientasi proyek dan kepentingan sesaat. Dibuat tanpa visi yang
jelas, hanya seperti pemadam kebakaran, untuk mengatasi masalah sesaat. Bukkan
seperti pegadaian yang mengatasi masalah tanpa masalah. Padahal, membangun
fisik kota itu harus mempertimbangkan kondisi yang jauh ke depan terutama
berkait dengan fundamental of living – rasa aman, nyaman, dan
tersedianya kebutuhan fasilitas bagi warganya.
Contohnya, yaitu kawasan Tamalanrea yang seharusnya menjadi kawasan
pendidikan justru dipadati oleh bangunan bisnis, seperti pusat perbelanjaan dan
ruko-ruko. Pemandangan ini dapat dilihat di sepanjang Jalan Perintis
Kemerdekaan yang dimulai pada Kelurahan Tello Baru Kecamatan Panakkukang sampai
pada Kelurahan Sudiang Kecamatan Biringkanaya. Selain itu, kawasan Jalan AP
Pettarani yang diperuntukkan sebagai zona perkantoran, justru yang lebih banyak
bermunculan adalah ruko. Bukan hanya pada jalan-jalan utama saja yang dipadati
oleh ruko tetapi sejumlah jalan-jalan alternatif pun juga dipadati dengan
ruko-ruko. Hal ini semua tentu saja melanggar aturan tata ruang.
Dari informasi yang saya dapatkan, bahwa maraknya bangunan bisnis yang liar
terjadi karena belum ada perusahaan pengembang kawasan bisnis yang melengkapi
dokumen izin pembangunannya dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Lalu
Lintas (Amdal Lalin). Selain itu penyebab lainnya adalah lemahnya koordinasi
antar instansi Pemerintah Kota Makassar.
Kawasan bisnis seperti pusat perbelanjaan baru yang tidak
mengantongi amdal lalin di antaranya pembangunan Plaza Alauddin, Pusat Grosir
Karebosi, hotel dan apartemen Karebosi, dan Karuwisi Trade Centre. Padahal,
kawasan bisnis atau pusat perbelanjaan tersebut berada di ruas jalan yang
sangat rentan kemacetan arus lalu lintas.
Bila pengembang kawasan bisnis tetap diberikan izin membangun
tanpa memperhatikan manajemen lalu lintas, kemacetan seperti yang terjadi di
beberapa pusat perbelanjaan bisa semakin merata di Kota Makassar. Kemacetan di
kawasan pusat perbelanjaan yang berada di Jalan Perintis Kemerdekaan seharusnya
dapat menjadi contoh.
Selain koordinasi antarinstansi yang lemah, kurangnya kesadaran
pengusaha di dalam memahami penataan kota dan manajemen lalu lintas. Pengusaha
sekedar mengejar kepentingan bisnis, tanpa melihat dampak buruk yang
ditimbulkan di sekelilingnya seperti kemacetan arus lalu lintas yang bisa
terjadi. Kondisi arus lalu lintas di kawasan Jalan Sultan Alauddin bahkan sudah
mulai padat sejak pembangunan Plaza Alauddin. Itu karena di kawasan itu sudah
ada supermarket yang berdiri sebelumnya seperti Giant dan Indomode di samping
kampus Universitas Muhammadiyah Makassar. Nanti kalau Plaza Alauddin rampung
semua, jalan ini juga akan semakin macet. Karena Alauddin merupakan jalan
arteri yang menghubungkan Kabupaten Gowa-Makassar.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sangat
diperlukan suatu hubungan kerja sama yang baik antara pemerintah, pihak swasta,
dan masyarakat dalam proses pelaksanaan pembangunan dan tentu saja ini semua
juga membutuhkan pengawasan oleh badan legislatif agar pengendalian terhadap
alih fungsi lahan yang sudah menyalahi aturan dapat cepat teratasi. Suatu Rencana Penataan Ruang dibuat tidak lain bertujuan
untuk meratakan pembangunan yang ada pada suatu wilayah. Pembangunan tersebut dilakukan
juga untuk tujuan pemerataan kesejahteraan rakyat pada umumnya bukan dilakukan
hanya untuk kesejahteraan rakyat pada khususnya, dalam konteks ini yang
dimaksud adalah hanya perorangan ataupun perkelompok saja yang bisa merasakan
keadaan aman dan nyaman.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar