Kamis, 12 April 2012

PEMBANGUNAN UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT PADA UMUMNYA BUKAN RAKYAT PADA KHUSUSNYA


Kota diartikan sebagai  suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang  matrealistis, atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala pemusatan penduduk daerah belakangnya. Beberapa aspek kehidupan di kota antara lain aspek sosial sebagai pusat pendidikan, pusat kegiatan ekonomi , dan pusat pemerintahan. Ditinjau dari hirarki tempat, kota itu memiliki tingkat atau rangking yang tertinggi, walaupun demikian menurut sejarah perkembangannya kota itu berasal dari tempat-tempat pemukiman sederhana (Bintarto dalam radonkey.blogspot.com).

Fungsi kota antara lain yaitu sebagai pusat produksi (production centre), sebagai pusat perdagangan (centre of trade and commerce), sebagai pusat pemerintahan (political capital), sebagai pusat kebudayaan (culture centre), dan sebagai pusat kesehatan atau rekreasi (health and recreation) (indahpurnamawati.blogdetik.com).

Dalam pengertian dan fungsi kota yang ada di atas, tentu saja kita telah mempunyai gambaran sedikit tentang bagaimana penataan ruang kota dalam bentuk yang nyata. Apakah sama teori tentang kota tersebut dengan fakta yang terjadi dilapangan? Pada tulisan ini, saya mencoba menyusun tentang esai yang berkaitan dengan penataan-penataan ruang wilayah dengan sub topik pengendalian.

Perencanaaan wilayah pada dasarnya adalah menetapkan ada bagian-bagian wilayah (zona) yang dengan tegas diatur penggunannya dan ada wilayah yang kurang diatur penggunaannya agar pemanfaatan itu dapat memberikan kemakmuran yang cukup besar kepada masyarakat baik jangka pendek maupun jangka panjang termasuk menunjang daya pertahanan dan terciptanya keamanan. Selain itu akan dapat membantu atau memandu para pelaku ekonomi untuk memilih kegiatan apa yang perlu dikembangkan di masa yang akan datang dan dimana lokasi kegiatan seperti itu masih diizinkan oleh pemerintah dan masyarakat sekitarnya. Hal ini dapat mempercepat pembangunan karena investor mendapatkan kepastian hukum tentang lokasi usahanya untuk menjamin keteraturan dan menjauhkan benturan kepentingan (Robinson Tarigan, Perencanaan Pembangunan Wilayah: 2005, halaman 49 dalam jurnal online).

Pemerintah Kota Makassar mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar Tahun 2005-2015 yang mana di dalam peraturan daerah tersebut telah diatur secara keseluruhan tentang pembagian zona-zona penggunaan yang ada di Kota Makassar.

Pada bab IV mengenai Kebijakan dan Strategi Pengembangan Tata Ruang yang di cantumkan pada pasal 8 Wilayah Pengembangan, sesuai dengan karakteristik fisik dan perkembangannya, Makassar dibagi atas 13 kawasan terpadu dengan kebijakan pembangunan untuk masing-masing wilayah pengembangan sebagai berikut: (1) Wilayah Pengembangan (WP) I dibagian atas Sungai Tallo, tepatnya dibagian Utara dan Timur Kota, dengan dasar kebijakan utamanya diarahkan pada peningkatan peran dan fungsi-fungsi kawasan yang berbasiskan pada pengembangan infrastruktur dasar ekonomi perkotaan melalui pengembangan kegiatan secara terpadu seperti pengembangan fungsi dari sektor industri dan pergudangan, pusat kegiatan perguruan tinggi, pusat penelitian, bandar udara yang berskala internasional, kawasan maritim dan pusat kegiatan penelitian sebagai sentra primer baru bagian Utara Kota; (2) Wilayah Pengembangan (WP) II dibagian bawah Sungai Tallo, tepatnya dibagian Timur dari Jalan Andi Pengeran Pettarani sampai dengan batas bagian bawah dari Sungai Tallo, dengan dasar kebijakan utamanya mengarah pada pengembangan kawasan pemukiman perkotaan secara terpadu dalam bingkai pengembangan sentra primer baru bagian Timur Kota; (3) Wilayah Pengembangan (WP) III Pusat Kota, tepatnya berada pada sebelah Barat dari Jalan Andi Pengeran Pettarani sampai dengan Pantai Losari dan batas bagian atas dari Sungai Balang Beru (Danau Tanjung Bunga), dengan dasar kebijakan utamanya mengarah pada kegiatan revitalisasi Kota, pengembangan pusat jasa dan perdagangan, pusat bisnis dan pemerintahan serta pengembangan kawasan pemukiman secara terbatas dan terkontrol guna mengantisipasi semakin terbatasnya lahan Kota yang tersedia dengan tanpa mengubah dan mengganggu kawasan dan atau bangunan cagar budaya; (4) Wilayah Pengembangan (WP) IV dibagian bawah Sungai Balang Beru (Danau Tanjung Bunga), tepatnya batas bagian bawah dari Sungai Balang Beru sampai dengan batas administrasi Kabupaten Gowa, dengan dasar kebijakan utamanya mengarah pada pengembangan kawasan secara terpadu untuk pusat kegiatan kebudayaan, pusat bisnis global terpadu yang berstandar internasional, pusat bisnis dan pariwisata terpadu dan pusat olahraga terpadu yang sekaligus menjadi sentra primer baru bagian Selatan Kota; (5) Wilayah Pengembangan (WP) V Kepulauan Spermonde Makassar, dengan dasar kebijakan utamanya yang diarahkan pada peningkatan kegiatan pariwisata, kualitas kehidupan masyarakat nelayan melalui peningkatan budidaya laut dan pemanfaatan sumber daya perikanan dengan konservasi ekosistem terumbu karang.

Dan untuk selanjutnya dijelaskan pada pasal 9 mengenai Kawasan Pengembangan Terpadu Kota Makassar, sebagaimana dimaksud Pasal 8, terdiri atas: (1) Kawasan Pusat Kota, yang berada pada bagian tengah Barat dan Selatan Kota mencakup wilayah Kecamatan Wajo, Bontoala, Ujung Pandang, Mariso, Makassar, Ujung Tanah dan Tamalate; (2) Kawasan Permukiman Terpadu, yang berada pada bagian tengah pusat dan Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Manggala, Panakukang, Rappocini dan Tamalate; (3) Kawasan Pelabuhan Terpadu, yang berada pada bagian tengah Barat dan Utara Kota, mencakup wilayah Kecamatan Ujung Tanah dan Wajo; (4) Kawasan Bandara Terpadu, yang berada pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Biringkanaya dan Tamalanrea; (5) Kawasan Maritim Terpadu, yang berada pada bagian Utara Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea; (6) Kawasan Industri Terpadu, yang berada pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea dan Biringkanaya; (7) Kawasan Pergudangan Terpadu, yang berada pada bagian Utara Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea, Biringkanaya dan Tallo; (8) Kawasan Pendidikan Tinggi Terpadu, yang berada pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Panakukang, Tamalanrea dan Tallo; (9) Kawasan Penelitian Terpadu, yang berada pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tallo;     (10) Kawasan Budaya Terpadu, yang berada pada bagian Selatan Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalate; (11) Kawasan Olahraga Terpadu, yang berada pada bagian Selatan Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalate; (12)Kawasan Bisnis dan Pariwisata Terpadu, yang berada pada bagian tengah Barat Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalate; (13) Kawasan Bisnis Global Terpadu, yang berada pada bagian tengah Barat Kota, mencakup wilayah Kecamatan Mariso.


Dari pasal 8 dan pasal 9 diatas, kita telah mengetahui zona-zona tentang pembagian penggunaan lahan yang ada di Kota Makassar karena pada bab selanjutnya juga dijelaskan tentang strategi-strategi dan rencana pengembangan wilayah tersebut. Namun untuk pembahasan ini, aturan yang diangkat hanya dibatasi pada 2 pasal tersebut agar dalam menyusun tulisan ini saya bisa terfokus pada judul yang saya angkat.

Berkaitan dengan aturan-aturan rencana penataan ruang yang telah dicantumkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar jika dilihat pada kenyataannya, hampir sangat berbanding terbalik. Kota Makassar saat ini sangat berantakan bukannya malah menuju kota dunia seperti yang sering dibicarakan pada media-media komunikasi. Kehidupan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan juga tidak dirasakan secara menyeluruh oleh para penduduknya.

Pada pasal 4 dan bab 3 Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2006, juga disebutkan tentang Visi Penataan Ruang Kota adalah mewujudkan Makassar sebagai Kota Maritim, Niaga, Pendidikan, Budaya, dan Jasa yang berorientasi Global, Berwawasan Lingkungan dan Paling Bersahabat. Nah,lagi-lagi makassar saat ini bukan termasuk ke dalam kategori tersebut.

Perencanaan di Kota Makassar tampaknya sekarang dibuat tidak dengan pertimbangan sustainable atau berkelanjutan. Perencanaan pembangunan lebih banyak dilakukan berorientasi proyek dan kepentingan sesaat. Dibuat tanpa visi yang jelas, hanya seperti pemadam kebakaran, untuk mengatasi masalah sesaat. Bukkan seperti pegadaian yang mengatasi masalah tanpa masalah. Padahal, membangun fisik kota itu harus mempertimbangkan kondisi yang jauh ke depan terutama berkait dengan fundamental of living – rasa aman, nyaman, dan tersedianya kebutuhan fasilitas bagi warganya.

Contohnya, yaitu kawasan Tamalanrea yang seharusnya menjadi kawasan pendidikan justru dipadati oleh bangunan bisnis, seperti pusat perbelanjaan dan ruko-ruko. Pemandangan ini dapat dilihat di sepanjang Jalan Perintis Kemerdekaan yang dimulai pada Kelurahan Tello Baru Kecamatan Panakkukang sampai pada Kelurahan Sudiang Kecamatan Biringkanaya. Selain itu, kawasan Jalan AP Pettarani yang diperuntukkan sebagai zona perkantoran, justru yang lebih banyak bermunculan adalah ruko. Bukan hanya pada jalan-jalan utama saja yang dipadati oleh ruko tetapi sejumlah jalan-jalan alternatif pun juga dipadati dengan ruko-ruko. Hal ini semua tentu saja melanggar aturan tata ruang.

Dari informasi yang saya dapatkan, bahwa maraknya bangunan bisnis yang liar terjadi karena belum ada perusahaan pengembang kawasan bisnis yang melengkapi dokumen izin pembangunannya dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Lalu Lintas (Amdal Lalin). Selain itu penyebab lainnya adalah lemahnya koordinasi antar instansi Pemerintah Kota Makassar.

Kawasan bisnis seperti pusat perbelanjaan baru yang tidak mengantongi amdal lalin di antaranya pembangunan Plaza Alauddin, Pusat Grosir Karebosi, hotel dan apartemen Karebosi, dan Karuwisi Trade Centre. Padahal, kawasan bisnis atau pusat perbelanjaan tersebut berada di ruas jalan yang sangat rentan kemacetan arus lalu lintas.


Bila pengembang kawasan bisnis tetap diberikan izin membangun tanpa memperhatikan manajemen lalu lintas, kemacetan seperti yang terjadi di beberapa pusat perbelanjaan bisa semakin merata di Kota Makassar. Kemacetan di kawasan pusat perbelanjaan yang berada di Jalan Perintis Kemerdekaan seharusnya dapat menjadi contoh.

Selain koordinasi antarinstansi yang lemah, kurangnya kesadaran pengusaha di dalam memahami penataan kota dan manajemen lalu lintas. Pengusaha sekedar mengejar kepentingan bisnis, tanpa melihat dampak buruk yang ditimbulkan di sekelilingnya seperti kemacetan arus lalu lintas yang bisa terjadi. Kondisi arus lalu lintas di kawasan Jalan Sultan Alauddin bahkan sudah mulai padat sejak pembangunan Plaza Alauddin. Itu karena di kawasan itu sudah ada supermarket yang berdiri sebelumnya seperti Giant dan Indomode di samping kampus Universitas Muhammadiyah Makassar. Nanti kalau Plaza Alauddin rampung semua, jalan ini juga akan semakin macet. Karena Alauddin merupakan jalan arteri yang menghubungkan Kabupaten Gowa-Makassar. 

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sangat diperlukan suatu hubungan kerja sama yang baik antara pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat dalam proses pelaksanaan pembangunan dan tentu saja ini semua juga membutuhkan pengawasan oleh badan legislatif agar pengendalian terhadap alih fungsi lahan yang sudah menyalahi aturan dapat cepat teratasi. Suatu Rencana Penataan Ruang dibuat tidak lain bertujuan untuk meratakan pembangunan yang ada pada suatu wilayah. Pembangunan tersebut dilakukan juga untuk tujuan pemerataan kesejahteraan rakyat pada umumnya bukan dilakukan hanya untuk kesejahteraan rakyat pada khususnya, dalam konteks ini yang dimaksud adalah hanya perorangan ataupun perkelompok saja yang bisa merasakan keadaan aman dan nyaman.





***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar