Sabtu, 23 November 2013



“PABUNTULI KORONGTIGI”

Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang sangat kaya akan budaya. Oleh karena itu seluruh Warga Indonesia sudah sepatutnyalah membangga-banggakan negeri ini yang kaya akan berbagai macam budaya. Cara yang tepat untuk membangga-banggakan budaya di negeri yaitu dengan cara melestarikan budaya bangsa itu sendiri. Salah satu contoh dari pelestarian budaya, yaitu ditunjukkan oleh masyarakat di Desa Bontosunggu, Kecamatan Bontonompo Selatan, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan.
Hampir sama dengan wilayah-wilayah lain pada umumnya, budaya  masyarakat di Desa Bontosunggu dapat dilihat dari hubungan kekerabatan masyarakat yang sangat tinggi, sangat kompak, akur, saling tolong menolong  dan  sangat  menjunjung  tinggi  norma-norma  yang  ada.  Terlepas dari itu, ada satu budaya yang menurut saya paling menarik di desa ini yaitu tradisi adat “Pabuntuli  Korongtigi”. Sumpah! Saya baru melihat tradisi adat yang seperti ini hanya di Desa Bontosunggu saja dan itupun saya bisa beruntung menyaksikannya dengan seksama karena sebulan yang lalu lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) saya ditempatkan di desa ini.
Jika kita ingin mengetahui defenisi dari istilah “Pabuntuli Korongtigi” itu, rasanya sulit sekali karena dari hasil wawancara saya dengan masyarakat setempat pada bulan lalu, mereka juga tidak mengetahui apa arti kata per kata dari istilah “Pabuntuli Korongtigi” jika di translate ke dalam Bahasa Indonesia yang sesuai dengan ejaan yang disempurnakan. Masyarakat setempat hanya bisa menjabarkan deskripsi dari istilah “Pabuntuli Korongtigi” itu.
Dari hasil wawancara dan pengamatan singkat saya, “Pabuntuli Korongtigi” adalah  budaya masyarakat di Desa Bontosunggu yang ingin melakukan sebuah acara seperti sunatan ataupun pernikahan, maka terlebih  dahulu  mereka  harus  pergi memanggil/memberitahu  para  orang  yang telah dibesarkan  namanya  di  desa  ini seperti  Kepala  Desa,  Imam  Desa,  Kepala  Dusun,  maupun  Imam  Dusun  yang mana  dalam  proses  memanggil ini,  yang  punya  acara  tersebut  pergi  ke  rumah Kepala  Desa,  Imam  Desa,  Kepala  Dusun,  maupun  Imam  Dusun  dengan membentuk barisan yang panjangnya mencapai 50-100 meter. Waaawww... Luar biasa bukan betapa panjangnya barisan ini. Padahal kalau kita berpikir secara singkat dan praktis, mana ada orang yang mau melakukan hal tersebut di zaman modern seperti sekarang ini.
Bukan hanya sekedar barisan memanjang, para orang-orang yang terlibat dalam tradisi tersebut terdiri dari beberapa bagian barisan yang mempunyai peran yang berbeda-beda. Barisan-barisan awal, di isi oleh anak-anak dengan membawa bendera, kemudian barisan-barisan tengah di isi oleh para orang-orang yang memakai “baju bodoh” yang masing-masing membawa “bossara”. Isi dari masing-masing “Bossara” tersebut yaitu berupa kue-kue tradisional  dan  sebuah  bingkisan yang dibungkus dengan  kain putih. Adapun pada barisan-barisan terakhir, di isi oleh para pemain alat musik tradisional.
Namun sebelum tradisi adat ini dilaksanakan, orang yang punya acara tersebut terlebih dahulu harus memberitahu  kepada Kepala Desa, Imam Desa,  Kepala Dusun, maupun Imam Dusun bahwa dia akan datang pada hari itu di sore hari agar  Kepala  Desa,  Imam  Desa,  Kepala  Dusun,  maupun  Imam  Dusun mempunyai  persiapan  dirumahnya.  Selain  datang  terlebih  dahulu  untuk memberitahu,  orang  yang  punya  acara  tersebut  sekaligus  membawakan “paccing” karena “paccing” itulah yang kemudian ia ambil ketika ia datang bersama rombongannya di sore hari.
Adapun persiapan yang dilakukan oleh Kepala Desa, Imam Desa, Kepala Dusun,  maupun  Imam  Dusun  ketika  mereka  akan  kedatangan  orang  yang punya acara tersebut yaitu berupa satu paket alat perlengkapan untuk tradisi ini dan  kemenyang.  Setelah  itu  di  keesokan  harinya,  orang  yang  punya  acara tersebut  membawakan  daging  mentah  ke  rumah  Kepala  Desa,  Imam  Desa, Kepala  Dusun,  maupun  Imam  Dusun.  Daging  mentah  tersebut  berasal  dari daging kerbau dan daging sapi karena dalam tradisi ini, orang yang melakukan Pabuntuli  Korongtigi”  tersebut  diharuskan  memotong  satu  ekor  sapi  dan  satu ekor kerbau. 
  Nah, keren kan tradisi adat Pabuntuli  Korongtigi” ini. Saya yakin tradisi adat yang seperti ini hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia khususnya pada masyarakat Desa Bontosunggu. Oleh karena itu sebagai generasi muda, kita wajib melestarikan warisan budaya lokal yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita agar negeri ini tidak kehilangan akan identitasnya. Majulah Negeriku, Jayalah Bangsaku !
Gambar Proses Pelaksanaan Tradisi Adat Pabuntuli Korongtigi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar